Monday 10 December 2007

Melongok Steinway Di Indonesia

Melongok Steinway Di Indonesia
http://www.gatra.com/2003-05-10/artikel.php?id=27311

Mencari pemilik piano buatan Steinway & Sons di Tanah Air lumayan sulit. Hampir seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Sangat sedikit yang memilikinya. Untungnya, dalam pencarian ini, Gatra berhasil mengumpulkan sejumlah pemilik. Misalnya, Iravati M. Sudiarso, Pia Alisjahbana, Miranda Goeltom, dan Ananda Sukarlan. Sayang, dua nama terakhir tak bisa dihubungi karena sedang berada berada di luar negeri.

Iravati Sudiarso mengoleksi satu unit Steinway. "Jenis seven seat," kata Iravati kepada Rury Feriana dari Gatra. Warnanya hitam, dengan tuts terbuat dari gading. Model seperti ini termasuk kategori klasik, terutama karena Steinway & Sons sudah tidak lagi memproduksi piano dengan tuts gading. Tuts piano buatan Steinway & Sons saat ini hanya diberi lapisan gading.

Iravati, salah satu guru piano terbaik tanah air ini, membeli piano Steinway-nya dari seorang ekspatriat yang hendak kembali ke negerinya pada era 1960-an. Namun, Iravati tak tahu persis tahun pembuatan piano itu. "Perkiraan saya, piano ini dibuat antara akhir abad 18 dan awal abad 19," kata ibu dua anak ini. Steinway milik Iravati hanya dipakai ketika latihan di rumahnya. Untuk mengajar, Iravati menggunakan piano merek lain, seperti Yamaha.

Di tangan Iravati, piano Steinway itu seperti menemukan pasangannya. Walau sudah berusia lebih empat dekade, piano itu masih menghasilkan suara yang --oleh Iravati disebut-- "Ajeg dan bagus." Menurut Iravati, ini bisa terjadi karena Steinway memiliki rangka besi bermutu tinggi. "Kerangka besinya dibuat sedemikian rupa sehingga bunyinya sangat precise", kata Ira.

Selain itu, kayu yang digunakan Steinway juga berpengaruh. "Semakin tua umur piano --bila didukung oleh kualitas kayu yang baik-- akan semakin menghasilkan suara yang presisi," kata Iravati. Wanita berusia 66 ini makin mencintai Steinway-nya karena tuts piano itu terbuat dari gading. "Tidak licin ketika dipakai," kata Iravati.

Iravati hampir tidak menemui kesulitan berarti selama memiliki piano itu. "Paling yang dibutuhkan hanya penyeteman yang teratur," katanya. Untuk urusan ini, Iravati mempercayakannya pada Misto, koleganya di Yayasan Pendidikan Musik (YPM). Komposer muda Andi Rianto punya kiat lain untuk memelihara kualitas Steinway.

"Selain rajin distem, penempatan Steinway juga harus diperhatikan," kata Andi. Piano Steinway, lanjut Andi, tak bisa diletakkan di ruangan yang lembab dan langsung terkena sinar matahari. "Kelembaban dan kekeringan yang cukup ekstrim bisa mengurangi kualitas suara yang dihasilkan," katanya.

Andi memang tidak memiliki piano Steinway. Namun, ketika menuntut ilmu di Berklee College of Music, ia kerap memainkan piano kelas satu ini. "Dalam beberapa konser di sana, saya memakai Steinway," ungkapnya. Ini tidak mengherankan karena Steinway memang banyak dipakai sekolah musik terkenal di dunia.

Walau baru merasakan Steinway ketika mendalami jurusan Film Scoring di Boston itu, pengetahuan Andi tentang piano Steinway ternyata sudah ada jauh sebelumnya. Sejak kecil ia sudah tahu kalau Steinway itu adalah yang terbaik. "Waktu kecil saya sering denger orang bilang "Steinway is the best piano in the world"," kata Andi.

Setelah merasakan sendiri piano Steinway, Andi mengaku apa yang didengarnya sewaktu kecil dulu tak berlebihan. "Memang enak," kata keponakan Umar Kayam ini. Karena cukup akrab dengan sound Steinway, Andi berani taruhan bahwa ia bisa membedakan bunyi piano itu dengan merek lain. "Sound Steinway itu enak, mulus. Sementara kalau Yamaha sound-nya mantap", kata Andi mencoba mendeskripsikan perbedaan Steinway dengan piano lain.

"Kelebihan Steinway itu adalah tonenya, yang kadang-kadang tidak bisa dicapai merk lain," kata Andi. Menurutnya, karena perbedaan tone ini jenis musik yang cocok dimainkan juga berbeda. "Yamaha itu lebih mantap dan cocok untuk pop atau Jazz. Sementara Steinway lebih tepat untuk musik klasik," papar penata musik untuk film Ca Bau Kan, Titik Hitam, dan Andai Ia Tahu ini.

Di antara koleksi barang seni di rumah Pia Alisjahbana yang asri di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, juga terdapat baby grand Steinway & Sons. Piano itu dibeli oleh anak Pia yang bersekolah di Amerika Serikat. "Dibeli tahun 1988," kata Pia. Sewaktu kembali ke tanah air, piano itu ikut terbawa. "Ini namanya barang pindahan," tambah wanita karir yang masih tampak enerjik di usianya yang mendekati 70 ini.

Pia tidak begitu mengerti tentang piano Steinway. Ia tidak hapal berapa harga piano ini saat dibeli. Ia juga tidak tahu piano ini buatan tahun berapa. Yang ia ingat, piano itu dibeli dalam kondisi baru. "Dipesan langsung dari New York," katanya. Ketika ditanya alasan membeli piano itu, dengan cepat Pia menjawab: "Steinway adalah piano terbaik."

Pia mencoba menjelaskan sebagus apa piano itu. "Dentingan pianonya begitu bening dan merdu. Daleman-nya bagus, berwarna emas," kata ibu dua anak ini. Sayang, piano itu kini lebih banyak mengangur. Di rumah Pia tidak ada lagi yang memainkan piano itu. Pia sudah sangat jarang memainkannya.

Namun, Pia berniat untuk memulai lagi bermain dan belajar piano. Piano tersebut sengaja disiapkan Pia di rumahnya untuk acara resital yang rutin diadakan sebulan sekali. "Resital tersebut menampilkan pianis-pianis berbakat lengkap dengan pemain biola dan cello," kata Ketua Nusantara Symphony Orchestra itu.

Di luar individu yang mengoleksi dan memainkan piano Steinway ini, sebuah institusi budaya tanah air juga memilikinya. Yaitu, Taman Ismail Marzuki (TIM). Sayangnya, Steinway di TIM itu sudah tidak fit lagi. Sewaktu kompetisi piano Cipta Award diselenggarakan tahun lalu, Steinway ini ikut dipakai. "Tapi, salah satu pedalnya putus," terang Jilal Mardhani, mantan Direktur Eksekutif TIM.

"Tragedi" itu sempat disaksikan oleh sejumlah anggota Dewan Penyantun TIM. Lalu, disepakatilah usaha untuk mengumpulkan dana guna membeli sebuah Steinway baru. Sebuah acara fund raising diadakan di kediaman Miranda Goeltom, Deputi Gubernur Bank Indonesia yang juga hobi memainkan piano. Dari acara itu diharapkan terkumpul US$ 80.000 sesuai dengan harga piano grand Steinway yang hendak dibeli.

Namun, jumlah dana yang diperoleh ternyata tidak genap sebesar itu. "Kalau tidak salah masih kurang sekitar US$ 10.000," ungkap Jilal kepada Gatra. Sayangnya, Jilal tak tahu bagaimana nasib dari rencana pembelian piano grand Steinway itu. Pertengahan tahun lalu, pria berusia 40 tahun, ini mundur dari TIM.

Carry Nadeak
[Ragam, GATRA, Nomor 22 Beredar Senin 14 April 2003]

1 comment:

Anonymous said...

Maaf Pak, dengan segala kerendahan hati saya, mohon Bapak mencari tahu tentang FAZIOLI.

Dibanding Steinway, saya lebih sreg dengan FAZIOLI. Jika Steinway mengeluarkan 2,000 piano dalam 1 tahun, FAZIOLI hanya mengeluarkan 80 piano. Semua dibuat dari tangan dan suara yang dihasilkan membuat pendengar peka terharu.

Trims.